Warga Jakarta keturunan etnis Tionghoa bulat mendukung duet Alex Noerdin dan Nono Sampono sesuai yang diungkapkan salah seorang pengusaha di sebuah pertemuan dengan Nono Sampono di Jakarta, kemarin. Nono memaparkan program keamanan dan kenyamanan yang akan diterapkan nya nanti jika terpilih. “Kita akan bekerja sama dengan masyarakat untuk pencegahan. Saya akan tegakan aturan tidak pandang bulu,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini Nono Sampono minta penduduk Jakarta keturunan Tionghoa jangan khawatir untuk lebih membaur dengan kelompok masyarakat lainnya. Bila terpilih memimpin Jakarta bersama Alex Noerdin, dirinya menjanjikan keadilan untuk semua kelompok masyarakat sehingga siapapun bisa tumbuh dan berkembang, untuk berkumpul dan bekerjasama, membangun kehidupan yang lebih baik di Ibukota asalkan berkomitmen menjaga lima nilai-nilai utama.
“Ada lima nilai utama yang menurut saya penting untuk menjadi pondasi sosial dan budaya di Jakarta. Lima nilai tersebut adalah stabilitas, produktivitas, ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Atau saya singkat SP-3K (dibaca SPEK),” kata Nono Sampono ketika bertemu komunitas keturunan Tionghoa di Jakarta.
Stabilitas, menurut mantan Komandan Paspampres ini, adalah kedewasaan setiap anggota masyarakat untuk menerima perbedaan bukan sebagai kesenjangan yang bisa menimbulkan rasa iri atau dengki antar kelompok.
“Saya dibesarkan di berbagai tempat sehingga sejak kecil diajarkan untuk mencintai perbedaan sebagai keindahan. Ketika masuk ke dinas tentara, saya diajarkan bahwa perbedaan adalah kekuatan,” tegas Nono.
Produktivitas menurutnya adalah kesadaran setiap masyarakat untuk mensyukuri setiap waktu yang dimiliki dengan memanfaatkannya untuk hal-hal yang positif. Baik untuk kepentingan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
“Kita sadar bahwa hidup di Jakarta ini tidak mudah, mahal, lelah, dan kadang-kadang stress. Tapi kalau kita berusaha membuat diri sendiri bermanfaat, pasti akan ada respon positif dari lingkungan sekitar. Dari teman, tetangga, saudara, atau siapapun. Kalau sudah lelah lalu ditambah marah-marah hasilnya malah kita semakin menumpuk masalah,” kata Nono.
Khusus masalah ketertiban, Nono menyayangkan kondisi Jakarta yang sangat menyedihkan. Mulai dari kemacetan lalu lintas, buruknya pelayanan publik, sampai dengan pemukiman, semuanya bermuara pada masalah tidak adanya ketertiban.
“Ironis sekali bahwa atas nama “penertiban” semua pihak berlomba-lomba untuk tampil. Padahal arti ketertiban tidak sesempit itu. Ketika didorong untuk tertib aturan, etika, atau hukum, justru tidak ada satupun yang mau perduli,” tegas Nono.
Menurutnya, ketertiban bukan semata-mata kegiatan penegakan hukum atau ideologi kelompok tertentu.
“‘Ketertiban adalah proses penegakan moral. Kesadaran untuk berani menjadi contoh yang benar walaupun yang lain salah sehingga setidaknya ada sanksi rasa malu bagi mereka yang tidak tertib. Selanjutnya, baru ada proses penegakan hukum. Saat ini kebalikan. Yang tertib malah malu karena takut dibilang beda,” tambah Nono.
Stabilitas, produktivitas, dan ketertiban butuh kesadaran masyarakat dikombinasikan dengan penegakan aturan, etika dan hukum. Sedangkan keadilan dan kepentingan bersama butuh intervensi aktif dari pemerintah dalam bentuk kebijakan afirmatif, saranan dan prasarana.
Untuk keadilan, Nono meyakini bahwa selalu ada tiga cara pandang dalam menilai setiap kejadian atau permasalahan yaitu yang benar, yang salah dan yang adil. Kalau tidak yang terjadi adalah bias masyarakat yang mengkotak-kotakkan kelompok satu dengan yang lain, yang biasanya akan dimenangkan oleh kelompok yang lebih dominan atau mayoritas. Sehingga menimbulkan jarak bahkan kesenjangan.
“Keadilan harus diciptakan bukan tercipta dengan sendirinya, dan ini butuh ketegasan dan keberanian pemerintah. Selain itu tidak ada keadilan yang tidak difasilitasi melalui kebijakan, sarana dan prasarana. Ini butuh kreativitas pemerintah. Musuh keadilan adalah diskriminasi yang berbuah menjadi resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Ini harus dihilangkan dan yang memulai harus pemerintah provinsi,” tegas Nono.
Terakhir adalah kepentingan bersama yang diatur berdasarkan musyawarah untuk mufakat yang dimediasikan oleh tokoh-tokoh masyarakat atau pimpinan wilayah informal seperti Ketua RT dan RW.
“Sekali lagi sistem ini harus dilindungi oleh pemerintah dimana RT dan RW adalah milik dan dipilih warga, jadi tidak boleh dikooptasi pemerintah. Di Jakarta justru terbalik, RT dan RW digaji oleh pemda sehingga yang dibela kepentingan pemerintah. Check and balances dalam konteks sosial dan budaya menjadi hilang,’ jelas Nono.
Selanjutnya, Nono menegaskan bahwa setelah nilai-nilai SP3K (baca SPEK) ditegakkan, penduduk dianjurkan tidak berkumpul dengan golongannya saja melainkan berkewajiban untuk membaur untuk membela kepentingan bersama.
“Setidaknya di wilayah tempat tinggalnya setiap warga harus aktif membela kepentingan bersama. Bila tidak maka sanksinya adalah sanksi sosial yaitu ditegor oleh RT dan RWnya, dikucilkan dari pergaulan warganya, dan seterusnya,” tambah Nono.
Menurut Nono Jakarta adalah “melting pot” untuk Indonesia, bahkan untuk Asia Tenggara.
“Kalau Jakarta mau menjadi Ibukota kelas dunia, kita harus tegakkan nilai-nilai yang kuat sebagai pondasi. Semua orang yang berkomitmen menegakkannya harus dijamin pertumbuhan dan perkembangan hidupnya di Jakarta. Baik Jawa, Betawi, Sunda, Tionghoa, Arab, India, apapun latar belakang keturunannya,” Nono dengan lantang menutup sambutannya.